Selasa, 14 Desember 2010

KONSERVASI TANAH DAN AIR

A. Definisi Konservasi Tanah Dan Air
Menurut Sitanala Arsyad (1989), konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan menurut Deptan (2006), konservasi air adalah upaya penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air selalu berjalan beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga dilakukan tindakan konservasi air.
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri dari kata Con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian menganai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902), orang Amerika pertama yang mengemukakan konsep konservasi (www.pendakierror.com/Konservasi.html).
B. Metode Atau Teknik Dalam Konservasi Tanah Dan Air
Di dalam konservasi tanah dan air, ada beberapa teknik dalam kegiatannya:
1) Teknik Mulsa Vertikal
Teknik mulsa vertikal ini adalah salah satu teknik dalam konservasi tanah dan air. Teknik ini adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari bagian tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan (Pratiwi, 2005). Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan pembuatan guludan.
Peranan dari teknik mulsa vertikal ini, antara lain (yang terdiri dari 3 komponen, yaitu pemanfaatan limbah hutan (serasah), pembuatan saluran, dan guludan):
1. a Limbah hutan (serasah) berfungsi sebagai:
1. Menghasilkan unsur-unsur hara penting bagi tanaman, yaitu limbah hutan yang dimasukkan dalam saluran, akan terdekomposisi. Lalu aktivitas mikroba meningkat dalam proses penghancuran atau dekomposisi bahan organik.
2. Biomas segar yang telah dikomposisi tersebut merupakan media yang dapat menyerap dan memegang massa air dalam jumlah besar sehingga penyimpanan air dalam tanah dapat berjalan efisien.
3. Bahan organik yang telah terkomposisi di dalam saluran dapat diangkat dan digunakan sebagai kompos. Kompos ini akhirnya dapat memperbaiki kesuburan tanah.
4. Dapat meningkatkan keragaman biota tanah, karena mulsa merupakan niche ekologi bagi berbagai jenis biota tanah. Biota ini akan memanfaatkan energi dan unsur hara di dalam mulsa dan akan menghasilkan senyawa organik yang dapat memantapkan agregat tanah.
5. Limbah hutan yang dimasukkan dalam saluran dapat berfungsi sebagai penghambat penyumbatan pori makro dinding saluran oleh sedimen sehingga air akan mudah meresap ke dalam saluran.
b. Saluran berfungsi sebagai:
1. Adanya saluran maka infiltrasi akan meningkat sehingga aliran permukaan yang menyebabkan erosi akan menurun tajam, karena air akan masuk ke dalam saluran.
2. Saluran merupakan tempat menyimpan partikel tanah yang terbawa oleh aliran dari bidang di atas saluran sehingga dapat terendapkan di bagian saluran mulsa vertikal tersebut.
c. Dan guludan berfungsi sebagai penahan aliran permukaan dan pertikel-partikel tanah sebelum tererosi ke bagian hilir. Dengan demikian partikel-partikel tanah akan terhenti di bagian guludan tersebut (www.dephut.go.id/files/Pratiwi)
2) Teknik Kebekolo
Masalah berkurangnya kesuburan tanah untuk pertanian telah menyita perhatian dunia dan konservasi tanah menjadi solusinya. Mengembangkan teknik konservasi tanah dengan memperhatikan kearifan lokal dapat dijadikan salah satu pilihan. Salah satu contoh adalah Kebekolo dari NTT. Apa itu Kebekolo?
Kebekolo adalah barisan-barisan tumpukan kayu atau ranting yang disusun atau direntang memotong lereng perbukitan pada lahan kering. Tumpukan-tumpukan itu dimaksudkan untuk menahan erosi, yaitu tergerusnya tanah oleh aliran air permukaan ketika hujan turun. Jarak antara tumpukan satu dengan tumpukan lain dibuat semakin rapat tatkala tingkat kemiringannya lahan kering tersebut semakin tinggi.
Teknik ini sangat efektif menahan erosi tanah permukaan. Tetapi kelemahan teknik kebekolo ini adalah ketergantungan pada umur tumpukan kayu dan ranting tersebut. Bila kayu atau ranting yang digunakan sudah menjadi lapuk atau membusuk lalu rapuh dan hancur, tentunya teknik ini menjadi tidak efektif untuk menahan erosi.
Resikonya secara periodik harus mengganti tumpukan kayu atau ranting yang telah membusuk tersebut.(www.litbang.deptan.go.id/berita/one/666/).
3) Teknik Teknologi Koservasi Tanah Dan Air
Untuk menahan air dan mencegah kehilangan air melalui aliran permukaan, perkolasi, dan evaporasi diperlukan teknologi konservasi air. Dan konservasi tanah diterapkan untuk mengendalikan erosi dan mencegah degradasi lahan. Berikut diuraikan berbagai macam teknologi konservasi tanah dan air:
1. Sistem pertanaman lorong
Adalah suatu sistem dimana tanaman pangan ditanam pada lorong di antara barisan tanaman pagar. Sistem in sangat bermanfaat dalam mengurangi laju limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara terutama N untuk tanaman lorong.
2. Strip rumput
Adalah suatu sistem dimana tanaman pangan ditanam pada lorong, tetapi tanaman pagarnya adalah rumput. Strip rumput dibuat mengikuti kontur dengan lebar strip 0,5 meter atau lebih. Semakin lebar strip, semakin efektif mengendalikan erosi.
3. Tanaman penutup tanah
Merupakan tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan dengan tanaman pokok. Bermanfaat untuk menutupi tanah dari terpaan langsung curah hujan, mengurangi erosi, menyediakan bahan organik tanah, dan menjaga kesuburan tanah.
4. Teras Gulud
Sistem pengendalian erosi secara mekanis yang berupa barisan gulud yang dilengkapi rumput penguat gulud dan saluran air di bagian lereng atasnya. Ini mengurangi laju limpasan permukaan dan menyebabkan resapan air
5. Teras bangku
Adalah teras yang dibuat dengan cara memotong lurus dan meratakan tanah di bidang olah sehingga terjadi deretan menyerupai tangga teras bangku. Ini berfungsi sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi.
6. Rorak
Adalah lubang atau penampung yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan. Rorak ini berguna untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah, memperlambat limpasan air pada saluran peresapan, dan sebagai pengumpul tanah yang tererosi, sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah.
7. Embung
Merupakan bangunan penampung air yang berfungsi sebagai pemanen limpasan air permukaan dan air hujan. Fungsinya sebagai penyedia air di musim kemarau.
8. Daun Parit
Adalah suatu cara mengumpulkan atau membendung aliran air pada suatu parit dengan tujuan untuk menampung aliran air permukaan, sehingga dapat digunakan untuk mengairi lahan di sekitarnya. Daun parit dapat menurunkan aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi. (www.primatani.litbang.deptan.go.id/indek.php?)
4) Teknik Biopori
Teknik ini dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata, salah satu peneliti senior di IPT. Teknik biopori ini sering disebut dengan Lubang Resapan Biopori (LRB), yaitu metode resapan air yang ditujukan untuk membantu mengatasi banjir dan genangan air serta sampah organik di pemukiman warga. Peningkatan daya resap air pada tanah dikeluarkan dengan membuat lubang silindris yang dibuat secara pertikel ke dalam tanah dengan melebihi kedalaman muka air tanah. Pada lubang itu dimasukkan sampah organik berupa daun-daun, pangkasan rumput atau limbah dapur sisa-sisa makanan untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbun di dalam tanah akan menghidupi fauna tanah yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah.
5) Teknik Groundwater Conservation Area
Merupakan teknik yang mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air hujan) yang dijaga diversifikasi dan konstruksi apapun tidak boleh dibangun di atas area tersebut.
Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi dan bebas dari kontaminasi polutan (A. Maryono dan E.N. Santoso, 2006).
C. Manfaat Konservasi Tanah Dan Air
Pada dasarnya konservasi merupakan pemberdayaan atau pemeliharaan terhadap alam dan makhluk hidup. Manfaat – manfaat konservasi diwujudkan dengan:
1. Terjaganya kondisi alam dan lingkungannya, berarti konservasi dilakukan dengan memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak.
2. Terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan, yang berarti jika gangguan-gangguan penyebab turunnya jumlah dan mutu makhluk hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan berakibat makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali.
3. Terhindarnya dari bencana akibat perubahan alam, berarti gangguan-gangguan terhadap flora dan fauna serta ekosistemnya pada khususnya serta sumber daya alam pada umumnya menyebabkan perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu sumber daya alam tersebut.
4. Mampu mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro, bararti dalam ekosistem terdapat hubungan yang erat antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
5. Mampu memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti upaya konservasi sebagai sarana pengamatan dan pelestarian flora yang sudah punah maupun belum punah dari sifat, potensi maupun penggunaannya.
6.Mampu memberikan konstruksi kepada kepariwisataan, berarti ciri-ciri dan objeknya yang karakteristik merupakan kawasan ideal sebagai sarana rekreasi atau wisata alam (www.petualang.com/2008/09/konservasi-sumber-daya-alam-di-indonesia/
C. Simpulan
Konservasi tanah dan air sebagai bentuk konservasi abiotik adalah upaya perlindungan atau pemeliharaan sumber daya alam, terutama sumber daya alam non hayati, seperti tanah dan air. Di dalamnya terdapat beberapa metode atau teknik dalam mengkonservasinya, yaitu teknik mulsa vertikal, teknik kebekolo, teknik teknologi, teknik biopori, dan teknik groundwater conservations area dan dari berbagai macam teknik tersebut, menghasilkan berbagai manfaat terhadap ekosistem di bumi.
DAFTAR PUSATAKA
Arsyad,S.1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Maryono,A dan E.N.Santoso. 2006. Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan. Jakarta: Kementrian Negara Lingkungan Hidup.
www.pendakierror.com./Konservasi.html.
www.dephut.go.id /files/pratiwi
www.litbang.deptan.go.id/berita/one/666/
www.primatani.litbang.deptan.go.id/index.php?/
www.petualang.com/2008/09/konservasi-sumber-daya-alam-di-indonesia/

Buku Indikasi Kawasan Hutan & Lahan Yang Perlu Dilakukan Rehabilitasi Tahun 2003

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

    Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika juga berfungsi sebagai paru-paru dunia dan sistem penyangga kehidupan sehingga kelestariannya harus dijaga dan dipertahankan dengan pengelolaan hutan yang tepat.

    Kondisi hutan, dilihat dari penutupan lahan/vegetasi, mengalami perubahan yang cepat dan dinamis, sesuai perkembangan pembangunan dan perjalanan waktu. Banyak faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut antara lain pertambahan penduduk, dan pembangunan diluar sektor kehutanan yang sangat pesat memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan dan produk-produk dari hutan. Kondisi demikian diperparah dengan adanya perambahan hutan dan terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan hutan alam tropika di Indonesia.

    Kerusakan hutan tersebut diperkirakan seluas 900 ribu hektar setiap tahunnya yang disebabkan oleh kegiatan perluasan perkebunan (500 ribu ha/tahun), kegiatan proyek-proyek pembangunan (250 ribu ha/tahun), kegiatan logging (80 ribu ha/tahun), dan kebakaran (70 ribu ha/tahun) (Haeruman, 1989). Menurut data selama 12 tahun (1985-1997) angka degradasi dan deforestasi untuk pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi adalah 1,6 juta ha/tahun sebagai akibat penebangan liar, pencurian kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan, lahan dan kebun serta sistem pengelolaan hutan yang kurang tepat. Deforestasi dan degradasi hutan diperparah dengan terjadinya kebakaran hutan pada tahun 1997 di Pulau Sumatera dan Kalimantan, dengan kebakaran terbesar terjadi di Kalimantan Timur hingga mencapai ± 3,2 juta ha (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 1998). Dari hasil perhitungan untuk pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, diperkirakan laju deforestasi menjelang tahun 2000 telah melebihi angka 2,5 juta ha/tahun.

    Sumber daya hutan yang telah mengalami kerusakan perlu direhabilitasi. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

    Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik setempat, yang meliputi aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Sebagai langkah awal upaya rehabilitasi, dilakukan penilaian aspek biofisik berupa kondisi penutupan lahan menurut kriteria kekritisannya. Identifikasi awal ini menghasilkan indikasi lokasi dan luas kawasan hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis.

    Identifikasi yang dilakukan pada tahun 2001 merupakan penyempurnaan dari kegiatan yang sama pada tahun 2000. Identifikasi tahun 2000 hanya dilakukan pada kawasan hutan dengan menggunakan data hasil penafsiran citra Landsat liputan tahun 1996-1998 berdasarkan 2 (dua) kelompok kelas penutupan lahan yaitu hutan, dan non hutan.

    Identifikasi tahun 2001 dilakukan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan dengan menggunakan data hasil penafsiran citra Landsat liputan tahun 1999/2000 kecuali Irian Jaya, yang dirinci menjadi 24 kelas penutupan lahan diantaranya hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, semak/belukar, pertanian lahan kering, sawah, tanah terbuka, pemukiman dll.

    Kawasan hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi dibedakan dalam 3 (tiga) kelompok disesuaikan dengan perlakuan (treatment) yang akan dilakukan dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan RHL dapat berupa reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknik tergantung pada kelompok penutupan lahan tersebut.

    Sebagai kelengkapan dan penyempurnaannya, maka pada tahun 2002 dilakukan perhitungan luas areal yang akan direhabilitasi secara indikatif untuk Provinsi Papua, yang kemudian hasilnya disajikan dalam buku edisi 2003 ini. Penyempurnaan perhitungan juga dilakukan pada provinsi yang telah mengalami pemekaran secara administratif dan data digitalnya sudah tersedia di Badan Planologi.

    Hasil identifikasi adalah informasi luas kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi, serta informasi lokasi dan sebarannya yang disajikan dalam bentuk peta indikasi RHL. Hasil ini telah digunakan sebagai dasar penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta diharapkan dapat menjadi acuan perencanaan kegiatan operasional rehabilitasi di daerah.

  2. Pengertian Umum

    1. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap;

    2. Penutupan Lahan (land cover) adalah kondisi permukaan bumi yang menggambarkan kenampakan vegetasi;

    3. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah tangkapan air mulai dari hulu sampai dengan hilir yang merupakan satu kesatuan tata air sebagai penyangga kehidupan yang utuh

    4. Reboisasi adalah kegiatan penanaman pohon di dalam kawasan hutan;

    5. Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan perananannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga;

    6. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan peruntukannya untuk memproduksi hasil hutan dan hasil hutan ikutan;

    7. Hutan Produksi Terbatas adalah Hutan produksi yang hanya dieksploitasi dengan cara tebang pilih.

    8. Hutan Lindung adalah Kawasan hutan yang karena sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata air, pencegahan bencana banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

    9. Kawasan Konservasi adalah Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di lautan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya.

    10. Sistem Informasi Geografis adalah teknologi pengelolaan (input, updating, analisa, dan penyajian) data spasial/non spasial yang modern, terintegrasi dengan menggunakan perangkat yang terkomputerisasi;

  3. Tujuan dan Sasaran

    Tujuan

    Melakukan identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi dalam rangka penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) Daerah serta perencanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tingkat Provinsi dan Kabupaten.

    Sasaran

    Tersedianya data luas dan peta indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi berdasarkan kelompok penutupan lahan dan batas Daerah Aliran Sungai (DAS) pada unit manajemen administrasi Provinsi dan Kabupaten.

  4. Ruang Lingkup

    1. Kegiatan identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi diarahkan pada areal di dalam dan di luar kawasan hutan di seluruh Indonesia.

    2. Hasil identifikasi berupa data luas dan sebaran lokasi indikasi areal yang perlu dilakukan rehabilitasi yang disajikan dalam bentuk peta dalam satuan per pulau, per provinsi disertai perhitungan luas pada unit administrasi provinsi, kabupaten, dan DAS prioritas.

    3. Luas dan peta indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi adalah merupakan hasil awal yang bersifat umum, indikatif dan masih perlu didetilkan sesuai kondisi ekosistem dan pengelolaan di daerah terkait.

    4. Untuk mempermudah dalam implementasinya, indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi disajikan pada peta indikasi RHL pada format kertas F4 (skala disesuaikan) berdasarkan kelompok penutupan lahan.

  5. Kriteria

    Kegiatan identifikasi ini bersifat umum karena adanya keterbatasan data pendukung. Namun akan terus disempurnakan dengan data yang lebih akurat, terkini dan komprehensif. Memperhatikan ketersediaan data yang terbatas, untuk kegiatan ini dipergunakan kriteria sebagai berikut :

    1. Kawasan Hutan dan Lahan : identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi dilaksanakan pada kawasan hutan yang meliputi kawasan hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi (HP, HPT, HPK), serta lahan diluar kawasan hutan (APL)

    2. Penutupan lahan: identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi diarahkan pada kawasan hutan dan lahan kurang/tidak produktif dengan berdasarkan pada kelas penutupan lahan dari hasil penafsiran citra Landsat 1999/2000.

    3. Kepekaan lahan : hasil identifikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi didasarkan pada kriteria lahan kritis dengan tingkat erosi dan sedimentasi tinggi, digambarkan dan didekati dengan penggunaan data DAS dan DAS prioritas berdasarkan SK Menhut No. 284/Kpts-II/99 tanggal 7 Mei 1999.

    Ketiga kriteria tersebut di atas digunakan dengan pertimbangan bahwa RHL secara indikatif akan dilakukan pada kawasan hutan dan lahan yang tidak produktif dan peka terhadap erosi.

BAB II

METODOLOGI

  1. Data dan Sumber

    1. Data Kawasan Hutan : Dipergunakan (a) Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan yang sudah ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan (23 provinsi) dan (b) Peta TGHK untuk provinsi yang belum selesai proses penunjukannya (3 provinsi meliputi Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Tengah) c) Untuk provinsi hasil pemekaran (Bangka Belitung, Banten, Maluku Utara dan Maluku) masih mengacu pada Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan pada provinsi awalnya.

    2. Data Penutupan Lahan : Dipergunakan data penutupan lahan hasil interpretasi citra satelit (Landsat 7 ETM+) seluruh Indonesia tahun 1999/2000. Hasil identifikasi dibedakan kedalam 3 (tiga) kelompok penutupan lahan yang disesuaikan dengan perlakuan (treatment) kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Ketiga kelompok tersebut meliputi :

      • Kelompok I terdiri dari jenis penutupan tanah terbuka, semak/belukar, pertanian lahan kering bercampur semak. Kegiatan RHL yang dapat diarahkan pada kelompok ini adalah kegiatan reboisasi dan penghijauan.

      • Kelompok II terdiri dari jenis penutupan hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, hutan mangrove sekunder. Kegiatan RHL yang dapat diarahkan pada kelompok ini adalah rehabilitasi melalui kegiatan pengayaan tanaman.

      • Kelompok III terdiri dari jenis penutupan pertanian lahan kering, transmigrasi, sawah, pertambangan, dan permukiman. Kegiatan RHL diasumsikan tidak dilakukan pada seluruh areal dan dapat dilakukan melalui kegiatan teknik konservasi tanah.

    3. Data DAS : Dipergunakan data digital DAS dari Ditjen RLPS dengan pemilahan DAS prioritas berdasarkan SK Menhut No. 284/Kpts-II/99 tanggal 7 Mei 1999.

      Prioritas I : Wilayah DAS yang berdasarkan lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut mempunyai prioritas tertinggi untuk direhabilitasi.

      Prioritas II : Wilayah DAS yang berdasarkan lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut mempunyai prioritas kedua untuk direhabilitasi

      Prioritas III : Wilayah DAS yang berdasarkan lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut mempunyai prioritas ketiga untuk direhabilitasi

      DAS bukan prioritas : Wilayah DAS yang berdasarkan lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut tidak perlu diberikan prioritas dalam penanganannya.

    4. 4. Data Administrasi : Dipergunakan batas administrasi pemerintahan propinsi dan kabupaten bersumber dari data BPS tahun 2000 yang kemudian disempurnakan berdasarkan masukan dari berbagai pihak .

  2. Pengolahan dan Penyajian Data

    Proses pengolahan data dari penyiapan data sampai dengan tersajinya hasil luas indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi berserta peta indikasinya adalah sebagaimana tersaji pada Bagan Alur Proses pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alur Proses Identifikasi Kawasan Hutan dan Lahan yang perlu dilakukan Rehabilitasi

BAB III

ANALISA HASIL IDENTIFIKASI RHL

Identifikasi terhadap penutupan lahan menghasilkan data luas indikasi kawasan hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Data tersebut disajikan menurut kelompok perlakuan rehabilitasi yang akan diperlakukan, baik berdasarkan fungsi kawasan hutan dan areal penggunaan lain, menurut pulau dan kelompok pulau serta menurut batas administrasi provinsi dan kabupaten. Hasil penghitungan disajikan pada Tabel 1.: Rekapitulasi Luas Indikasi Kawasan Hutan dan Lahan yang Perlu Dilakukan Kegiatan Rehabilitasi Per Pulau/Kelompok Pulau dan Per Kabupaten.

  1. Hasil Analisa Menurut Pulau dan Kelompok Pulau

    Sebagaimana tersaji pada Tabel 1., Identifikasi RHL menunjukan bahwa kawasan hutan dan lahan yang memerlukan perlakuan rehabilitasi untuk seluruh Indonesia seluas 100,6 juta ha (+ 52,3 % dari luas daratan Indonesia), terdiri atas kelompok I seluas 46,3 juta ha, kelompok II seluas 38,8 juta ha, dan kelompok III seluas 15,5 juta ha.

    Pulau Kalimantan memiliki areal terluas yang perlu direhabilitasi, yaitu 34,5 juta ha, diikuti Pulau Sumatera 29,8 juta ha, Pulau Sulawesi 11,5 juta ha dan Pulau Jawa 10,8 juta ha. Sedangkan kelompok pulau lain di bawah 10 juta ha.

  2. Hasil Analisa Menurut Kabupaten per Provinsi

    Perhitungan indikasi areal yang perlu direhabilitasi dilakukan menurut batas administrasi kabupaten pada tiap provinsi dan dirinci menurut fungsi kawasan dan areal penggunaan lain, DAS prioritas dan kelompok perlakuan. Penyempurnaan pada edisi tahun ini adalah perhitungan menurut batas administrasi kabupaten hasil pemekaran, yaitu pada Provinsi Nusa Tenggara Timur dari 13 kabupaten menjadi 14 kabupaten. Beberapa provinsi yang telah melakukan pemekaran baik tingkat provinsi maupun kabupaten belum dapat dilakukan perhitungan kembali karena data digital batas administrasi provinsi atau kabupaten belum tersedia di Badan Planologi Kehutanan.

    Hasil perhitungan luas areal yang perlu direhabilitasi menurut kabupaten per provinsi, tercantum pada lampiran 2, beserta peta areal yang perlu direhabilitasi per provinsi.

  3. Hasil Analisa Menurut Fungsi Kawasan

    Identifikasi RHL berdasarkan fungsi hutannya menghasilkan data luas kawasan hutan yang memerlukan perlakuan rehabilitasi adalah seluas 59,2 juta ha yang terdiri dari Hutan Lindung seluas 10,4 juta ha, Suaka Alam dan Pelestarian Alam seluas 4,6 juta ha, Hutan Produksi Tetap seluas 19,2 juta ha, Hutan Produksi Terbatas seluas 12,9 juta ha, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 12,1 juta ha.

    Kawasan hutan di Pulau Kalimantan memiliki areal terluas untuk direhabilitasi dengan total luas 24,6 juta ha, terutama di kawasan hutan Produksi yaitu seluas 10,6 juta ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 6,1 juta ha. Sedangkan kawasan hutan di Pulau Sumatera diindikasikan seluas 4,5 juta ha di Hutan Produksi, seluas 4,0 juta ha di Hutan Produksi Konversi dan 3,5 juta ha di Hutan Lindung, yang memerlukan perlakuan rehabilitasi.

    Pada kawasan hutan di Pulau Sulawesi diindikasikan 5,6 juta ha perlu direhabilitasi meliputi 2,3 juta ha di Hutan Lindung, 1,8 juta ha di Hutan Produksi Terbatas, 0,9 juta ha di Hutan Produksi dan 0,5 juta ha di KSA-KPA. Di Pulau Jawa kawasan hutan yang perlu direhabilitasi seluas 1,7 juta ha dengan 0,4 juta ha di Hutan Lindung, 0,9 juta ha di Hutan Produksi, 0,2 juta ha di Hutan Produksi Terbatas dan di KSA-KPA. Selengkapnya luas indikasi areal yang perlu direhabiitasi per provinsi per fungsi hutan tercantum pada Lampiran 1.

    Untuk areal di luar kawasan hutan yang memerlukan perlakuan rehabilitasi adalah seluas 41,5 juta ha, terdiri atas kelompok I seluas 23,7 juta ha, kelompok II seluas 5,7 juta ha dan kelompok III seluas 12,1 juta ha.

  4. Hasil Analisa Menurut Kondisi DAS

    Berdasarkan DAS Prioritas, areal indikasi yang perlu perlakuan kegiatan RHL pada DAS Prioritas I seluas 13,5 juta ha, DAS Prioritas II seluas 24,1 juta ha dan DAS Prioritas III seluas 23,1 juta ha. Sedangkan areal indikasi RHL pada DAS bukan prioritas seluas 39,8 juta ha. Hasil selengkapnya tercantum dalam Tabel 2.

    Tabel 2.: Luas indikasi areal rehabilitasi berdasarkan DAS prioritas (Juta Ha)

    DAS

    Kawasan Hutan

    APL

    Total

    Luas Indikasi

    Kawasan Hutan Tetap

    HPK

    Total

    HL

    KSA-KPA

    HP

    HPT

    Total

    Prioritas

    I

    1,7

    0,9

    2,0

    1,2

    5,8

    1,9

    7,6

    5,9

    13,5

    II

    2,4

    0,7

    4,8

    3,6

    11,5

    2,0

    13,4

    10,7

    24,1

    II

    2,1

    1,0

    7,3

    3,4

    13,8

    4,2

    18,0

    5,1

    23,2

    Tidak Prioritas

    4,3

    2,0

    5,1

    4,7

    16,1

    4,0

    20,1

    19,8

    39,8

    Total per fungsi

    10,4

    4,6

    19,2

    12,9

    47,1

    12,1

    59,2

    41,5

    100,6

Hasil perhitungan secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 1, dan untuk peta indikasi RHL per provinsi disajikan pada Lampiran 2.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

  1. Hasil awal yang disampaikan pada laporan ini perlu diterjemahkan dengan hati-hati sesuai dengan kondisi ekosistem dan pengelolaan kawasan pada propinsi atau daerah setempat, terutama dalam hubungannya dengan kelompok penutupan vegetasinya.

  2. Sesuai dengan kondisi penutupan lahan/vegetasinya:

    1. Kelompok I seluas 46,3 juta ha perlu menjadi prioritas dalam kegiatan RHL dengan pola reboisasi.

    2. Kelompok II seluas 38,8 juta ha yang merupakan kelompok penutupan vetegasi yang terdiri dari hutan sekunder dapat dimasukkan dalam kegiatan rehabilitasi dengan pola pengayaan tanaman, atau permudaan alam.

    3. Kelompok III seluas 15,5 juta ha yang umumnya berada di luar kawasan hutan dapat dilakukan rehabilitasi dengan pola penghijauan yang disesuaikan dengan kondisi biofisik (iklim dan jenis tanah).

SARAN :

  1. Hasil identifikasi awal kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi masih bersifat indikatif. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan analisa lebih lanjut berkaitan dengan hasil identifikasi ini adalah:

    • Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan untuk 3 propinsi yang belum tuntas sehingga dalam identifikasi ini masih menggunakan Peta TGHK.

    • Penyesuaian dengan data DAS dan batas administrasi pemerintahan yang terbaru;

  2. Untuk pelaksanaan operasional kegiatan rahabilitasi hutan dan lahan, data dan persiapan yang dibutuhkan oleh pelaksana di daerah antara lain adalah:

    • Data persebaran penduduk dan sosial budaya setempat untuk mengetahui pola penggunaan sumber daya lahan di dalam kawasan hutan (agroforestry) maupun di luar kawasan hutan, sebagai salah satu bahan dalam perencanaan kegiatan rehabilitasi;

    • Kondisi areal yang berkaitan dengan kondisi ekosistem (biofisik) dan pengelolaan kawasan serta infrastruktur setempat yang tersedia.

    • Pelaksanaan checking lapangan terhadap hasil identifikasi areal yang perlu direhabilitasi.

Selasa, 07 Desember 2010

13 fakta gila yang pernah terjadi akibat gempa.

Berikut adalah 13 fakta gila yang pernah terjadi akibat gempa.

1. Bumi secara seismolog lebih aktif dalam 15 tahun terakhir, kata ahli geofisika Missouri Universitas of Science & Technology Stephen S. Gao. Namun, tak semua seismolog menyetujuinya.

2. San Francisco mendekati Los Angeles dengan kecepatan sekitar 2 inci per tahun (seperti kecepatan tumbuh kuku jari Anda). Kota-kota ini akan bertemu beberapa juta tahun kemudian. Namun, gerakan utara-selatan ini juga berarti California tak akan jatuh ke laut.

3. Maret bukan bulan gempa, meski beberapa orang mempercayainya. Memang benar pada 28 Maret 1964, Prince William Sound, Alaska, mengalami gempa 9.2 Skala Richter dan menjadi salah satu gempa terbesar yang pernah ada. Gempa ini menewaskan 125 orang dan kerusakan properti US$ 311 juta (Rp 2,8 triliun).

Pada 9 Maret 1957, Kepulauan Andreanof, Alaska, mengalami gempa 9.1 SR. Namun, tiga gempa terbesar AS berikutnya terjadi pada Februari, November, dan Desember. Gempa terdahsyat terjadi di Chili pada 27 Februari 2010.

4. Terdapat sekitar 500 ribu gempa tiap tahun di seluruh dunia yang dideteksi intrumen sensitif. Sekitar 100 ribu gempa bisa dirasakan, dan 100 ribu lainnya menyebabkan kerusakan tiap tahun. Tiap tahun, wilayah California selatan mengalami sekitar 10 ribu gempa, dan kebanyakan tak dirasakan orang.

5. Matahari dan bulan adalah penyebab tremor. Sudah lama diketahui matahari dan bulan menimbulkan pasang di kerak planet, versi kecil pasang laut. Sekarang, peneliti mengatakan, tarikan matahari dan bulan di patahan San Andreas merangsang tremor di bawah tanah.

6. Sebuah kota di Chili bergerak 10 kaki ketika gempa 8,8 SR terjadi pada 27 Februari 2010. Gempa ini merobek kerak bumi dan menggeser kota Concepcin ke barat. Gempa ini diduga sedikit mengubah rotasi planet dan penyingkat hari di bumi.

7. Tak ada “cuaca gempa.” Menurut US Geological Survey, secara statistik, ada pemerataan gempa dalam cuaca dingin, panas, hujan, dan sebagainya.

Para ilmuwan mengatakan tak ada cara fisik cuaca dapat mempengaruhi beberapa mil di bawah permukaan bumi di mana gempa berasal. Perubahan tekanan udara di atmosfer sangat kecil dibanding kekuatan di kerak bumi, selain itu efek tekanan udara tak mencapai bawah tanah.

8. Tonjolan bumi sedikit terpangkas oleh gempa Indonesia pada 2004, gempa 9,0 SR itu menghasilkan tsunami mematikan pada 26 Desember tahun sama. Perpindahan tanah karena bencana itu menyebabkan pengurangan kecil pada tonjolan, dan membuat planet menjadi lebih bulat.

9. Cincin Api Pasifik merupakan kawasan paling aktif secara geologis Bumi. Lingkaran Samudra Pasifik ini, menyentuh pantai Utara dan Selatan Amerika, Jepang, Cina dan Rusia. Negara ini mayoritas tempat terjadinya gempa akibat tabrakan batas lempeng.

10. Ekstraksi minyak dapat menyebabkan gempa kecil. Karena minyak umumnya ditemukan dalam sedimen lembut dan licin, ketika minyak menghapus gerakan batuan lain, maka akan tercipta “peristiwa mini-seismik” yang tak terlihat manusia.

11. Gempa terbesar yang pernah ada berkekuatan 9,5 SR di Chili pada 22 Mei 1960.

12. Gempa di satu sisi bumi bisa mengguncang sisi lain. Seismolog mempelajari gempa masif 2004 yang memicu tsunami di sepanjang Samudra Hindia menemukan gempa telah melemah, setidaknya di patahan San Andreas California. Gempa yang mengguncang Chili pada 1960 merupakan fenomena disebut osilasi.

13. Gempa mematikan yang pernah melanda 23 Januari 1556 di Shanxi, Cina. Terdapat 830 ribu korban meninggal karena gempa ini.